Posted by : Unknown
Minggu, 08 April 2018
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Jenis
Model Evaluasi
Kata model, berarti pola, rencana, contoh dari
sesuatu yang akan dibuat atau dilakukan, atau dihasilkan. Model evaluasi
merupakan penjabaran teori evaluasi dalam praktik melaksanakan evaluasi. Suatu
model evaluasi mengemukakan pengertian mengenai evaluasi dan proses bagaimana
melaksanakannya. Model evaluasi membedakan antara evaluasi dengan penelitian
murni dan penelitian terapan lainnya. Hanya evaluasi yang mempergunakan model
evaluasi dalam melaksanakan penelitian.
Yaya dan Nandang
(2009) menyatakan bahwa model adalah abstraksi suatu entitas dimana abstraksi
adalah penyederhanaan bentuk asli dan entitas adalah suatu kenyataan atau
keadaan keseluruhan suatu benda, proses atau kejadian.
Sasmojo (2003)
mengungkapkan bahwa model adalah
deskripsi struktur suatu fenomena yang dinyatakan dalam bentuk-bentuk media
yang dapat dikomunikasikan. Dalam hubungan ini terdapat beragam model, yaitu
(Yaya dan Nandang, 2009) :
1.
Model fisik, yaitu menggambarkan entitas dalam bentuk tiga dimensi
2.
Model naratif, yaitu mengambarkan entitas dalam bentuk lisan atau tulisan
3.
Model grafik, menggambarkan entitas dalam bentuk
garis dan simbol
4.
Model matematik, yaitu menggambarkan entitas dengan menggunakan
rumus-rumus persamaan tentang keterkaitan variabel
Tentang hal ini, van Noorwick dan Lusiana (1999) dan
Simamarta (1983), merincinya sebagai berikut :
1.
Model
menurut fungsi terbagi atas :
a)
Model deskriptif, model ini menggambarkan situasi sebuah sistem tanpa
rekomendasi dan permasalahan
b)
Model prediktif, model ini menunjukkan apa yang akan terjadi, bila sesuatu
terjadi
c)
Model normatif, model ini menyediakan jawaban terbaik terhadap satu
persoalan. Model ini memberi rekomendasi tindakan-tindakan yang perlu diambil.
2.
Model
menurut struktur :
a)
Model ikonik, adalah model yang menirukan sistem aslinya, tetapi dakam suatu skala
tertentu.
b)
Model analog, adalah suatu modelyang menirukan sistem aslinya, dengan hanya mengambil beberapa
karakteristik utama dan menggambarkannya dengan bendaa atau sistem lain secara
analog.
c)
Model simbolis, adalah suatu model yang menggambarkan sistem yang ditinjau dengan
simbol-simbol biasanya dengan simbol-simbol matematik. Dalam hal ini sistem diwakili
oleh variabel-variabel dari karakteristik sistem yang ditinjau.
3.
Model
menurut refrensi waktu :
a)
Model statis, model statis tidak memasukan faktor waktu dalam perumusannya.
b)
Model dinamis, mempunyai unsur waktu dalam perumusannya.
4.
Model
menurut refrensi kepastian :
a)
Model deterministik, dalam model ini
pada setiap kumpulan nilai input, hanya ada satu output yang unik, yang
merupakan solusi dari model dalam keadaan pasti.
b)
Model probabilistik, menyangkut distribusi probabilistik dari input atau
proses dan menghasilkan suatu deretan harga bagi paling tidak satu variabel
output yang disertai dengan kemungkinan-kemungkinan dari harga-harga tersebut.
c)
Model game, teori permainan yang mengembangkan solusi-solusi optimum dalam menghadapi
situasi tidak pasti.
Model evaluasi
diawali oleh model evaluasi berbasis tujuan. Dibawah ini dibahas
prinsip-prinsip dasar model-model evaluasi, sebagai berikut:
a.
Model
evaluasi berbasis tujuan (Goal Based Evaluation Model)
Menurut
Ralph W. Tyler evaluasi merupakan proses menentukan sampai seberapa tinggi
tujuan pendidikan sesungguhnya dapat dicapai. Misalnya kurikulum suatu mata
pelajaran mempunyai tujuan tertentu berupa kompetensi dan perilaku yang akan
dicapai oleh guru dalam mengajarkan mata pelajaran tersebut. Menurut Scriven
evaluasi berbasis tujuan adalah setiap jenis evaluasi berdasarkan pengetahuan
dan direferensikan kepada tujuan-tujuan program, orang, atau produk.
Model
evaluasi berbasis tujuan secara umum mengukur apakah tujuan yang ditetapkan
oleh kebijakan, program atau proyek dapat dicapai atau tidak. Model evaluasi
iini memfokuskan pada mengumpulkan info yang bertujuan mengukur pencapaian
tujuan kebijakan, program dan proyek untuk pertanggung jawaban dan pengambilan
keputusan.
Model
evaluas berbasis tujuan dirancang dan dilaksanakan dengan proses sebagai
berikut :
1) Mengidentifikasi
tujuan
Mengidentifikasi dan mendefinisikan tujuan atau
objektif intervensi layanan dari program yang tercantum dalam rencana program.
2) Merumuskan
tujuan menjadi indicator-indikator
Evaluator merumuskan tujuan program menjadi
indicator-indikator kuantitatif dan kualutatif yang dapat diukur. Misalnya,
tujuan program orang tua tunggal adalah memberikan dukungan kepada 250 orang
tua tunggal disuatu kota agar dapat mengembangkan anak-anak mereka. Untuk itu
pemerintah memberikan layanan (indikator-indikator tujuan program) sebagai
berikut :
· Bantuan
biaya hidup setiap bulan
· Sekolah
gratis kepada anak
· Berobat
gratis kepada orang tua tunggal dan anaknya.
3) Mengembangkan
metode dan instrumen untuk menjaring data
Evaluator menentukan apakah akan menggunakan metode
kuantitatif atau kualitatif atau campuran, mengembangkan instrumen untuk
menjaring data, jenis instrument tergantung pada metode yang dipergunakan.
4) Memastikan
program telah berakhir dalam mencapai tujuan.
Layanan, intervensi dari program telah dilaksanakan
dan ada indikator mencapai pencapaian tujuan, pengaruh atau perubahan yang
diharapkan.
5) Menjaring
dan menganalisis data info mengenai indikator-indikator program.
Menjaring dan menganalisis data atau mengenai semua
indikator program.
6) Kesimpulan
Mengukur hasil pencapaian program atau pengaruh
intervensi atau perubahan yang diharapkan dari pelaksanaan program dan
membandingkan dengan objektif yang direncanakan dalam rencana program untuk
menentukan apakah terjadi ketimpangan.
Hasil yang didapat sebagai berikut :
· Program
dapat mencapai objektif sepenuhnya.
· Program
dapat mencapai sebagian dari objektifnya antara 50%-99,9%.
· Program
mencapai objektif dibawah 50%.
· Program
gagal mencapai objektif.
7) Mengambil
kaputusan mengenai program.
Keputusan dapat berupa :
· Jika
program dapat mencapai tujuannya sepenuhnya, mungkin program dilanjutkan atau
dilaksanakan didaerah lain jika sebelumnya hanya dilaksanakan di daerah
tertentu.
· Dapat
juga terjadi jika program berhasil sepenuhnya dan masyarakat yang dilayani
tidak memerlukan bagi layanan program dihentikan.
· Jika
program ternyata gagal akan tetapi masih diperlukan layanan oleh sebagian besar
masyarakat, maka program dianalisis penyebab kegagalan dan kemudian
dikembangkan atau dimodifikasi.
Keunggulan Model evaluasi berbasis tujuan / Goal
Based Evaluation Model :
· Demoktatis
: tujuan, layanan atau intervensi program merupakan hasil keputusan formal dari
lembaga negara yang dipilih secara demokratis.
· Imparsial
: evaluasi merupakan bagian dari riset sosial yang bersifat imparsial tidak
memihak.
· Sederhana
: proses merancang dan melaksanakan modal evaluasi berbasis tujuan mudah
merancang dan melaksanakannya.
Kelemahan Model evaluasi berbasis tujuan / Goal
Based Evaluation Model :
· Tujuan
tidak mudah dipahami : sejumlah tujuan yang terpisah / dapat bertentangan satu
sama lain, tujuan ambigius, dan dapat juga terjadi tujuan program tidak jelas.
· Suatu
tujuan berkaitan dengan ketidakpastian masa depan : tujuan disusun tidak untuk
saat tujuan disusun, tapi juga untuk masa depan.
· Efek
samping dari tujuan : ketika aktivitas program dilaksanakan untuk
merealisasikan tujuan dapat terjadi pengaruh.
· Tujuan
tersembunyi dari pengambil kebijakan.
b.
Model
Evaluasi Bebas Tujuan (Goal Free Evaluation Model)
Model evaluasi bebas tujuan adalah model evaluasi
dimana evaluator melakukan evaluasi tanpa mempunyai penegtahuan atau referansi
dari gold an objektif serta pengaruh yang diharapkan oleh perancang program.
Model ini berupaya mengukur keluaran dan pengaruh yang sesungguhnya tanpa
dipengaruhi oleh tujuan dan pengaruh yang diharapkan dalam rencana program.
Pengaruh program :
1.
Pengaruh sampingan yang negative yang
tidak diharapkan.
2.
Pengaruh positif sesuai dengan tujuan
yang ditetapkan.
3.
Pengaruh sampingan yang positif di luar
tujuan program yang ditetapkan.
Brandon W. Youker dan Allyssa Ingraham
(2013) mengungkapkan 4 langkah untuk menemukan goal dan pengaruh – pengaruh
program yang sesungguhnya dalam modal evaluasi ini :
1. Meneliti
dan mengidentifikasi pengaruh program yang relevan tanpa merajuk gold an objektif
yang ada direncanakan program.
2. Mengidentifikasi
apa yang terjadi tanpa referensi kepada gold an efektif program.
3. Menentukan
pengaruh apa yang muncul yang secara logis disebabkan oleh program dan
intervensi program.
4. Menentukan
derajat pengaruh positif, negative atau netral dari program.
c.
Model
Evaluasi Formatif dan Sumatif
1.
Evaluasi Formatif sebagai evaluasi yang
didesain dan dipakai untuk memperbaiki suatu objek, terutama ketika objek
tersebut sedang dikembangkan. Istilah evaluasi formatif (formative evaluation) dan evaluasi sumatif (summative evaluation) diperkenalkan oleh Michael Scriven pada tahun
1967 yang awalnya ia menggunakan istilah outcome
evaluation of an intermediate stage in development of teaching instrument
(Michael Scriven 1967). Menurut Scriven evaluasi formatif merupakan loop
balikan dalam memperbaiki produk. The
Program Evaluation Standards (1994) mendefinisikan evaluasi formatif
sebagai evaluasi yang didesain dan dipakai untuk memperbaiki suatu objek,
terutama ketika objek tersebut sedang dikembangkan. Dalam proses pembelajaran
mata pelajaran atau mata kuliah evaluasi formatif dilaksanakan dalam bentuk
ujian tengah semester. Sedangkan dalam evaluasi program atau proyek
dilaksanakan sesuai dengan termin kontak kerja. Misalnya, jika dalam konrak
pelaksanaan evaluasi ada termin kerja 25%, 50%, dan 75% maka evaluasi formatif
harus dilaksanakan 3 kali untuk mengukur pencapaian kinerja ketiga termin
tersebut.
Evaluasi
formatif dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
· Untuk
mengukur hasil pelaksanaan program secara periodik.
· Untuk
mengukur apakah klien partisipasi bergerak kearah yang direncanakan.
· Untuk
mengukur apakah sumber-sumber telah dipergunakan sesuai dengan rencana.
· Untuk
menentukan koreksi apa yang harus dilakukan jika terjadi penyimpangan
memperbaiki balikan, memberikan balikan secara terus-menerus untuk memperbaiki
perencanaan, standar prosedur operasi, pengangguran sumber-sumber dan
perkembangan pelaksanaan program.
2.
Evaluasi Sumatif sebagai evaluasi yang
digunakan unutk mengukur kinerja akhir objek evaluasi. Evaluasi Sumatif
dilakukan dengan tujuan sebagai berikut :
· Menentukan
kesuksesan keseluruhan program
· Menentukan
apakah / tidak gol spesifik dan objektif telah dicapai.
· Menentukan
komponen mana paling efektif dan komponen mana yang kurang efektif.
· Menentukan
apakah ada keluaran yang tidak diantisipasi.
· Menentukan
cost benefit program.
· Mengkomunikasiakn
temuan evaluasi kepada para pemangku kepentingan program.
Evaluasi
suamtif untuk mengukur indikator-indikator sebagai berikut :
· Hasil
dan pengaruh layanan / intervensi program.
· Mengukur
presepsi partisipasi mengenai layanan dan intervensi program.
· Menentukan
cost effectiveness, cost efficiency, dan cost benefit.
d.
Evaluasi
Responsif
Model evaluasi responsif dikembangkan pada tahun
1975 oleh Robert Stake (1975). Pada awalnya Stake menamai model evaluasi ini Countenance Of Educational Evaluation.
Daniel L Stufflebeam dan Anthony J Shinfield (1985) memberi nama model ini
sebagai Client-centered Evaluation atau
evaluasi yang berpusat pada klien.
Menurut Stake evaluasi disebut responsive jika
memenuhi 3 kriteria sebagai berikut :
· Lebih
berorientasi secara langsung kepada aktivitas program daripada tujuan program
· Merespon
kepada persyaratan kebutuhan informasi dari audiens
· Perspektif
nilai-nilai yang berbeda dari orang-orang yang dilayani dilaporkan dalam
kesuksesan dan kegagalan dari program.
Evaluator
melayani berbagai jenis klien termasuk para guru, para administrator sekolah,
pengembangan kurikulum, pembayar pajak, para legislator dan masyarakat umumnya
yang sering mempunyai perbedaan kebutuhan. Para evaluator harus berinteraksi
secara terus-menerus dengan kliennya untuk merespons kebutuhan kliennya.
Menurut
stake evaluator pendidikan harus bekerja untuk dan mendapatkan dukungan para pendidik
dan menyajikan layanan pendidikan.
Langkah-langkah
model evaluasi responsif :
a) Evaluator
mengidentifikasi jenis dan jumlah setiap pemangku kepentingan.
b) Melakukan
dengar pendapat dengan pemangku kepentingan.
c) Menyusun
proposal evaluasi
d) Membahas
hasil evaluasi
e) Membahas
hasil evaluasi dengan pemangku kepentingan
f) Pemanfaatan
hasil evaluasi
e.
Model
CIPP (context, input, process and
product) :
Stuflebeam
(Tayibnapis, 2008) mengartikan evaluasi sebagai proses menggambarkan,
memperoleh dan menyediakan informasi yang berguna untuk menilai alternatif
keputusan. Karena itu, ia membagi evaluasi dalam empat macam, yaitu :
a) Context evaluation to serve planning
decision yang berkaitan dengan tujuan program.
b) Input evaluation structuring
decision, yang berkaitan dengan sumberdaya, alternatif
pemanfaatannya, serta prosedur kerja untuk mencapai tujuan.
c) Process evalution to serve
implementing decision, yang berkaitan dengan proses untuk
mengimplementasikan keputusan.
d) Product evalution to serve
recycling decison,yang berkaitan dengan tindak lanjut
keputusan.
Tentang
hal ini, lebih lanjut Sutopo (2002) menyatakan bahwa :
a) Context,
berkaitan dengan beberapa faktor dan kondisi
sebelum kegiatan dilaksanakan.
b) Input,
adalah masukan yang diberikan sebagai
persiapan sebelum pelaksanaan program.
c) Process,
yaitu program dilaksanakan sejak awalnya dengan pendekatan sesuai konteksnya,
dan merupakan proses yang tepat untuk tercapainyatujuan.
d) Product,
yaitu kualitas hasil kegiatan yang dapat dicapai.
Daniel Stufflebeam (2002,2003) mengembangkan 10
checklist sebagai panduan evaluator, klien dan pemangku kepentingan sebagai
berikut :
1) Kesepakatan kontrak
Para evaluator CIPP perlu menetapkan landasan
kesepakatan dengan klien dan kesepakatan tersebut harus diupdate jika
diperlukan sepanjang proses evaluasi.
Aktivitas evaluator :
· Menegmbangkan
suatu pemahaman yang jelas mengenai pekerjaan yang akan dilakukan.
· Memastikan
kesepakatan-kesepakatan yang diperlukan untuk memastikan bahwa hak akan
informasi akan diperoleh
· Menjelaskan
kepada klien secara umum analisis kualitatif dan kuantitatif apa diperlukan
untuk membuat suatu asesmen penuh program.
Aktivitas klien atau pemangku kepentingan :
· Menejelaskan
kepada para evaluator apa yang akan dievaluasi,untuk tujuan apa, berdasarkan
criteria apa, dan siapa audiensnya.
· Menjelaskan
kepada para evaluator informasi apa yang esesnsial bagi evaluasi dan bagaimana
kelompok klien akan memberi fasilitas untuk pengumpulan informasi tersebut.
· Mencapai
kesepakatan dengan evaluator mengenai kesepakatan apa yang paling penitng dalam
menjawab pertanyaan-pertanyaan kelompok klien.
2) Evaluasi konteks
Evaluasi
konteks mengakses kebutuhan-kebutuhan, asset, dan problem-problem dalam
lingkungan yang terdefinisi. Aktivitas evaluator dan pemangku kepentingan serta
tujuan program mempunyai penjelasan yang sama bahwa, dalam evaluasi sumatif, evaluasi CIPP berupaya mendapatkan tambahan
informasi untuk menjawab pertanyaan seperti, Apakah kebutuhan penting ditangani
dengan baik? Apakah upaya dipandu oleh suatu rencana dan anggaran yang dapat
dipertahankan? Apakah desain layanan dilaksanakan secara lengkap dan
dimodifikasi jika diperlukan? Apakah upaya yang dilakukan sukses?
3) Evaluasi Masukan
Evaluasi
Input menjaring, menganalisis dan menilai mengenai strategi, rencana kerja dan
anggaran berbagai pendekatan. Evaluator dan klien dan pemangku kepentingan
lainnya sebagai berikut:
a.
Aktivitas Evaluator
· Mengidentifikasi
dan meneliti program lain yang ada yang dapat dipergunakan sebagai model untuk
program yang direncanakan.
· Menilai
strategi program yang diusulkan mengenai keresponan terhadap kebutuhan dan
feasibilitasnya.
· Menilai
anggaran program untuk menentukan kecukupannya dalam membiayai pekerjaan yang
dibutuhkan
b.
Aktivitas/klien pemangku kepentingan perencanaan
program
· Memakai
temuan evaluasi masukan untuk merencanakan suatu strategi program yang secara
saintifik, ekonomi, social, politik dan teknologi dapat dipertahankan.
· Memakai
temuan evaluasi masukan untuk memastikan bahwa strategi program memungkinkan
untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan oleh yang memperoleh keuntungan yang
ditargetkan.
· Memakai
temuan evaluasi masukan untuk mendukung permintaan pendanaan untuk kegiatan
yang direncanakan.
4)
Evaluasi
Proses
Evaluasi
proses memonitor, mendokumentasikan dan menilai aktivitas program. Aktivitas
evaluator, klien dan pemangku kepentingan lainnya sebagai berikut :
a.
Aktivitas evaluator
· Mengumpulkan
dan menilai sampai seberapa tinggi individu dan kelompok yang dilayani, membuat
catatan mengenai kebutuhan-kebutuhan mereka, dan mencatat layanan program yang
mereka terima.
· Menentukan
sampai seberapa banyak program mencapai suatu kelompok penerima layanan yang
tepat.
b.
Aktivitas/klien pemangku kepentingan
manajemen dan mendokumentasikan
· Memakai
temuan evaluasi proses untuk mengontro dan memperkuat aktifitas staf
· Memakai
temuan evaluasi proses untuk memperkuat desain program
5) Evaluasi pengaruh (Impact
Evaluation)
Evaluasi
pengaruh menjaring dan menilai data mengenai program yang mencapai program yang
mencapai audients yang ditargetkan. Aktivitas evaluator dan klien/pemangku
kepentingan sebagai berikut:
a.
Aktivitas evaluator
· Mengakses
dan membuat penilaian mengenai sampai seberapa tinggi individu dan kelompok
yang memperoleh layanan konsisten dengan kemanfaatan program yang direncanakan.
· Menentukan
sampai seberapa tinggi program mencapai kelompok penerima manfaat yang tepat.
b.
Aktivitas/klien pemangku kepentingan mengontrol
siapa yang mendapat layanan
· Memakai
temuan evaluasi pengaruh untuk memastikan bahwa program mencapai para penerima
manfaat yang direncanakan.
· Memakai
temuan evaluasi pengaruh untuk menilai apakah program mencapai atau tidak
mencapai penerima manfaat yang tidak tepat.
6) Evaluasi efektifitas
Evaluasi
efektifitas program meneliti dan menilai signifikasi manfaat (outcome).
Aktivitas dari evaluator dank lien sebagai berikut:
a.
Aktivitas evaluator
· Melakukan
studi kasus secara mendalam mengenai penerimaan manfaat tertentu.
· Menugaskan
anggota tim evaluasi untuk mengumpulkan dan menilai informasi mengenai
pengaruh-pengaruh program terhadap penerima manfaat.
b.
Aktivitas/klien pemangku kepentingan-mengakses/melaporkan
manfaat
· Memakai
temuan-temuan evaluasi efektifitas untuk menimbang pengaruh positif dan
negative program terhadap penerima manfaat.
· Memakai
temuan evaluasi efektivitas untuk mengukur pengaruh positif dan negative dari
program terhadap masyarakat/lingkungan yang berkaitan.
7) Evaluasi keberlanjutan
Evaluasi
ini menjaring, menganalisis dan menilai sampai seberapa tinggi kontribusi
program sukses diinstitusionalisasikan dan terus berlanjut bersamaan dengan
perkembangan waktu.
a.
Aktivitas evaluator
· Mewawancarai
para pemimpin dan staf program untuk mengidentifikasi penilaian mereka mengenai
program sukses dan apa yang harus dilanjutkan.
· Mewawancarai
para penerima manfaat untuk mengidentifikasi penilaian mereka mengenai program
yang sukses dan apa yang harus dilanjutkan
b.
Aktivitas/klien pemangku kepentingan
praktik kesuksesan terus menerus
· Memakai
temuan-temuan evaluasi keberlanjutan untuk menetapkan apakah staf dan para
penerima manfaat lebih menyukai keberlanjutan program.
· Memakai
temuan-temuan evaluasi keberlanjutan sebagai jaminan untuk menentukan
tujuan-tujuan dan rencana untuk melanjutkan aktifitas-aktifitas.
8) Evaluasi transforbilitas
Evaluasi
ini mengakses sampai seberapa jauh suatu program telah atau dapat secara sukses
menyesuaikan diri atau diterapkan ditempat lainnya.
a.
Aktivitas evaluator
· Mengaktifkan
staf program dalam mengidentifikasi pengadopsian program secara actual atau
potensial dengan membuat suatu log penelitian,para tamu, dan pengadopsian
program.
· Mengunjungi
dan menilai adaptasi dari program
b.
Aktivitas/klien pemangku kepentingan –
diseminasi
· Memakai
temuan-temuan evaluasi transportabilitas untuk menilai kebutuhan untuk
diseminasi informasi mengenai program
· Memakai
temuan-temuan evaluasi transporbilitas untuk membantu menentukan audient untuk
informasi bagi program
9) Evaluasimeta
Evaluasimeta
merupakan asesmen suatu ketaatan evaluasi kepada standar-standar yang terkait
dari evaluasi yang baik.
a.
Aktivitas evaluator
· Mendorong
dan mendukung klien untuk memperoleh asesmen independen mengenai rencana
evaluasi, proses, dan/atau laporan-laporan evaluasi
· Mendokumentasikan
proses dan temuan-temuan evaluasi, sehingga evaluasi dapat diteliti dan
dievaluasi dengan teliti.
b.
Aktivitas/klien pemangku kepentingan
–menilai evaluasi
· Mempertimbangkan
mengontrak untu suatu asesmen independen mengenai evaluasi.
· Menyimpan
suatu file informasi yang berkaitan dengan penilaian evaluasi berdasarkan
kesepakatan kepada standar evaluasi dan prinsip pedoman
10) Sintesis laporan final
Menarik
bersama-sama temuan evaluasi untuk menjelaskan kepada semua audiens mengenai
apa yang diupayakan, dilakukan dan dicapai. Pelajaran apa yang diperlukan dan
dasar asesmen dari program.
a.
Aktivitas evaluator
· Mengorganisir
laporan agar memenuhi kebutuhan yang berbeda dari audien yang berbeda, misalnya
menyediakan tiga laporan menjadi satu, termasuk program yang mendahului,
pelaksanaan program, dan hasil-hasil program
· Meneruskan
contoh, pada laporan program yang mendahului meliputi seksi-seksi yang
mempunyai ciri sendiri mengenai organisasi yang menyesponsori program,
asal-usul program yang sedang dievaluasi, dan lingkunganprogram
b.
Aktivitas klien/pengaruh
kepentingan-menyimpulkan
· Membantu
memastikan bahwa isi laporan yan direncanakan akan memohon kepada dan dapat
dipakai oleh berbagai jenis audiens
· Membantu
memastikan bahwa laporan historical yang dikemukakan dalam laporan program yang
mendahului akurat, cukup ringkas, dan dalam interes dan memakai paling tidak
sejumlah audient untuk laporan menyeluruh
f. Model Evaluasi Adversary
Salah
satu model evaluasi yang menyerupai proses pengadilan atau proses yudisial
adalah model evaluasi adversary. Tujuan utama dari model evaluasi adversary
adalah untuk mengurangi potensi bias dengan membentuk 2 evaluator yang berbeda.
Kedua eevaluator-evaluator pro dan kontra sepakat mengenai isu yang akan
diselesaikan dan menyimpang pangkalan dara umum mengenai isu tersebut kemudian
melakukan pengumpulan data khusus sesuai dengan tugas keduanya.
Model
evaluasi adversary mempunyai keunggulan jika dibandingkan dengan model evaluasi
lainnya. Model evaluasi menyediakan berbagai alternative dalam pengambilan
keputusan seperti alternative perumusan masalah evaluasi, dan alternative
penilaian dan kesimpulan evaluasi. Tersedianya alternative tersebut dievaluasi
oleh pengambilan keputusan kemudian memilih salah satu alternative yang terbaik.
Dengan demikian, keputusannya mengenai program juga merupakan keputusan yang
tepat.
g. Model Evaluasi Ketimpangan
Konsep
evaluasi ketimpangan hamper sama dengan konsep Goal Based Evaluatio Model yang
dikemukakan oleh Ralph Tyler. Menurut model ini, evaluasi memerlukan enam
langkah untuk melaksanakannya :
a) Mengembangkan
suatu desain dan standar-standar yang menspesifikasi
karakteristik-karakteristik implementasi ideal dari evaluand (objek evaluasi) :
kebijakan, program atau proyek.
b) Merencanakan
evaluasi menggunakan model evaluasi diskrepansi. Menentukan informasi yang
diperlukan untuk membandingkan untuk membandingkan implementasi yang
sesungguhnya dengan standar yang mendefinisikan kinerja obek evaluasi.
c) Menjaring
kinerja objek evaluasi yang meliputi pelaksanaan program, hasil-hasil
kuantitatif dan kualitatif.
d) Mengidentifikasi
kepentingan-kepentingan antara standar-standar dengan pelaksanaan dengan
hasil-hasil pelaksanaan objek evaluasi yang sesungguhnya dan menentukan rasio
ketimpang.
e) Menentukan
penyebab ketimpangan dengan membandingkan antara standar kinerja dengan kinerja
objek evaluasi
f) Menghilangkan
ketimpangan dengan membuat perubaha-perubahan terhadap implementasi objek
evaluasi
Model
evaluasi ketimpangan mempunyai keunggulan dan kelemahan. Keunggulan pertama
dari model evaluasi provus adalah :
a) Model
evaluasi ketimpangan sederhana dan mudah dilaksanakan. Model ini hanya
membandingkan kinerja program dengan standar kinerja yang jelas didefinisikan
dan diformulasikan
b) Model
ini memperkenalkan konsep manajemen informasi, prose ruangan kelas dan
pentingnya membangun pangkalan data yang menghubungkan karakteristik siswa dan
kinerja para siswa.
c) Model
ini megembangkan hubungan yang terus-menerus antara staf evaluator permanen dan
perencana dan pengembangan program.
d) Model
ini menggunakan evaluasi formatif untuk merevisis dan mengoreksi program untuk
mengarahkan kembali pada awal pengembangan dan instansi program
Kelemahan
dari model evaluasi ketimpangan antara lain :
a) Untuk
melakukan model ini memerlukan waktu yang panjang karena pertanyaan yang harus
dijawab secara berurutan untuk sampai kepada keputusan, salah satu tujuan dari
pertanyaan-pertanyaan adalah untuk mengikutsertakan staf program dalam proses
evaluasi
b) Taksonomi
yang diidentifikasi sebagai suatu standar untuk definisi dari program merupakan
daftar kategori. Standar yang sesungguhya, seperti jumlah dan waktu pelatihan
para guru harus dikembangkan ditempat lain.
h. Model Evaluasi Sistem Analisis
Suatu
sistem program terdiri dari sejumlah unit, dimensi atau subsistem program yang
masing-masing mempunyai fungsi tertentu. Setiap unit diikat dengan ikatan
sinergis yang mengikat setiap unit menjadi kesatuan program. Fungsi dari ikatan
sinergi adalah :
a) Mengikat
semua unit menjadi suatu kesatuan sistem agar aktivitas-aktivitasnya dapat
bergerak secara bersama-sama ke arah tujuan program.
b) Menciptakan
sinergi positif, yaitu produksi semua unit program yang bekerja dalam sistem
program lebih besar daripada produksi masing-masing unit dijumlahkan jika tidak
bekerja dalam kesatuan sistem program.
Model
evaluasi sistem analisis terdapat empat jenis evaluasi. Dibawah ini dibahas
kelima jenis evaluasi tersebut dengan contoh aplikasinya dalam program keluarga
berencana (PKB) :
a) Evaluasi
masukan. Dalam evaluasi sistem analisis dilakukan evaluasi masukan. Tujuannya
dari evaluasi masukan adalah untuk menjaring, menganalisis dan menilai
kecukupan kuantitas masukan yang diperlukan untuk menganalisis dan menilai
kecukupan kuantitas dan kualitas masukan yang diperlukan untuk merencanakan dan
melaksanakan PKB
b) Evaluasi
proses. Evaluasi proses memfokuskan pada pelaksanaan program dan sering
menyediakan informasi mengenai kemungkinan program diperbaiki.
c) Evaluasi
keluaran. Evaluasi keluaran mengukur dan menilai keluaran daripada program
yaitu produk yang dihasilkan program.
d) Evaluasi
akibat (outcome evaluation). Evaluasi aibat mengukur apakah klien yang mendapat
layanan program berubah.
e) Evaluasi
pengaruh (impact evaluation). Evaluasi pengaru menilai perubahan yang terjadi
terhadap klien atau para pemangku kepentingan sebagai akibat dari intervensi
yang dilakukan program.
i. Model Evaluasi Bechmarking (Bangku
Ukur)
Bachmarking
adalah suatu proses mengevaluasi dan membandingkan objek benchmarking. Pada
prinsipnya benchmarking menyediakan potret kinerja organisasi dan posisinya
dalam hubungan standar tertentu. Suatu organisasi yang melakukan benchmarking
mengukur kinerjanya dengan standar kinerja tertentu, dapat kinerja standar
dalam jenis industry tertentu atau kinerja organisasi yang lainnya yan dianggap
terbaik, kemudian berupaya menyamakan kinerjanya dengan kinerja standar
tersebut melalui aktivitas atau proyek.
Jenis
evaluasi benchmarking :
a) Process
benchmarking. Organisasi memfokuskan benchmarking pada proses kegiatannya
dengan tujuan mengidentifikasi dan mengobservasi praktik terbaik satu atau
lebih organisasi lain yang menjadi benchmark atau tolok ukur benchmarking.
b) Financial
benchmarking. Melakukan analisis finansial terhadap keuangan organisasi dan
membandingankan hasilnya dengan standar finansial organisasi sejenis yang
menjadi benchmark.
c) Product
benchmarking. Menganalisis produk (barang dan jasa) organisasi kemudian
membandingkan dengan produk (barang dan jasa) organisasi yang menadi benchmark.
Hasilnya menentukan posisi kompetitif produk (barang dan jasa) baru agar
menyamai produk organisasi yang menjadi benchmark.
d) Functional
benchmarking. Organisasi sering memfokuskan benchmarkingnya pada salah satu
fungsi manajemennya dari fungsi manajemen yang komplek.
e) Performance
benchmarking. Organisasi mengevaluasi kinerja organisasi, dalam pengertian
kinerja akhir organisasi.
Demikian
ada sejumlah langkah yaitu :
a) Mengidentifikasi
objek benchmarking. Dalam fase ini mengevaluasi objek dari benchmarking yang
tergantung pada kelima jenis benchmarking seperti diuraikan diatas.
b) Mengidentifikasi
organisasi lain yang sama. Mengidentiikasi organisasi lain yang bisnisnya,
proses produksinya, produknya dan sebagainya yang sama dengan organisasi yang
akan di benchmasrking.
c) Mengidentifikasi
organisasi yang menjdadi pemimpin. Dari
organisasi yang teridentifikasi ditentukan satu organisasi yang menjadi
pemimin, yaitu organisasi yag terbaik.
d) Mengunjungi
organisasi rujukan. Dalam fase ini, tim benchmarking organisasi mengunjungi
organisasi rujukan danmelakukan pembicaraan dengan para pemimpin organisasi
rujukan serta meminta izin untuk melakukan benchmarking.
e) Mensurvei
praktik terbaik dari organisasi rujukan. Tim benchmarking meneliti organisasi
rujukan melalui mensurvei, mengobservasi dan mewawancarai pimpinan organisasi
rujukan.
f) Menyusun
rencana benchmarking. Disusun rencana apa yang yang dilakukan untuk menyamai
praktik atau fungsi organisasi rujukan’
g) Melaksanakan
dan mengevaluasi pelaksanaan rencana. Dilakukan secara formatif dan sumatif.
j. Model Evaluasi Kotak Hitam (Black
Box Evaluation Model)
Semenjak
abad ke-20 lahir gerakan konsumerisme di seluruh dunia. Konsumerisme adalah
gerakan untuk melindungi hak-hak para konsumen yang selama ini telah di dengar
atau dirugikan oleh para produsen dan pelaku usaha. Di Indonesia misalnya, Undang-Undang No 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen. Dalam pasal 4 Undang-Undang tersebut ditetapkan
bahwa konsumen mempunyai hak sebagai berikut:
(a) Hak
atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengonsumsi barang dan jasa;
(b) Hak
untuk memilih barang dan jasa serta mendapatkan barang dan/jasa sesuai dengan
(c) Hak
atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang
dan/ jasa
Untuk melindungi
hak konsumen Pemerintah Indonesia melakukan perlindungan konsumen (pasal 31)
dengan membentuk Badan Perlindungan Konsumen Nasional. Kementrian perindustrian
juga menetapkan semua produk indonesia wajib mendaftarkan produknya dan dan
mendapatkan nomer Standar Industri Indonesia (SII). Demikian juga masyarakat
sipil mendirikan organisasi untuk melindungi konsumen seperti Yayasan Lembaga
Konsumen Indonesia.
Salah satu
aktivitas lembaga konsumen tersebut adalah mengevaluasi produk-produk pabrikan
yang akan dibeli dan dipergunakan atau dikonsumsi oleh para konsumen. Di
negara-negara maju lembaga konsumen misalnya, mengevaluasi mobil, televisi,
radio, alat-alat rumah tangga, kasue, dsb. Di negara-negara maju sejumlah
pabrik menproduksi piring, magkok sendok, dsb yang bahannya atau hiasannya
terbuat dari mas 12 karat. Produk tersebut di evaluasi untuk mengetahui apakah
bahannya atau hiasannya memang terbuat dari mas 12 karat atau tidak dan daya
tahan pecahnya. Hasilnya diterbitkan dan disebarkan kepada konsumen yang akan
membeli produk tersebut. Dengan demikian, konsumen mempunyai informasi yang
cukup mengenai produk tersebut yang dapat dipergunakan untuk mengambil
keputusan untuk membeli atau tidak membeli produk tersebut.
Black
box evaluation model
sangat menolong para konsumen dalam memberi produk (barang dan jasa). Konsumen
sudah mempunyai informasi untuk mengambil keputusan mengenai barang dan jasa
yang diperlukannya. Dengan demikian, kemungkinan salah dalam memilih barang dan
jasa yang akan dibelinya diperkecil.
Kelemahan black box evaluation model memerlukan banyak
ahli mengenai berbagai produk. Karena jenis barang danyak, maka memerlukan
memerlukan jenis ahli barang dan jasa banyak jenisnya. Model evaluasi ini juga
banyak memerlukan laboraturium, alat ukur dan alat uji yang banyak jenisnya. Di
samping itu, juga memerlukan biaya yang cukup besar untuk melakukan evaluasi
terhadap barang dan jasa yang jenisnya puluhan ribuan.
k. Model Evaluasi Konosersip dan
Kritikisme
Istilah
konosersif berasal dari kata Bahasa Inggris connoisseurship
(kata benda), yang biasaya diterjemahkan sebagai konoser, artinya orang yang
mempunyai keahlian atau terlatih terutama dalam bidang seni dan mampu bertindak
sebagai kritikus atau penilai seni.
Istilah
konoser telah lama dipakai untuk keahlian dan penilaian di bidang produk
tertentu. Dalam bidang pendidikan istilah konoser diterapkan misalnya dalam
bidang kurikulum pendidikan. Berbagai program pendidikan memerlukan kurikulum
yang sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut. Untuk itu diperlukan pakar
kurikulum yang memahami penyusunan dan mengevaluasi pelaksanaannya.
Dewasa
ini konoser merupakan pakar yang ahli dalam bidang tertentu mempunya keahlian
dan pengalaman untuk menilai dalam bidang tersebut. Sedangkan konosersif
merupakan hasil penilaian dari konoser.
Einser
(1975) mendifinisikan konosersif sebagai kemampuan membedakan dengan rinci dan
teliti di antara kualitas yang kompleks. Sedangkan kritikisme adalah kemampuan
konoser untuk menyingapkan persepsi-persepsi mengenai kualitas tersebut
sehingga orang lain yang tidak memiliki level konosersifnya dapat juga memasuki
karyanya, melalui kritikisme konoser mengungkapkan kompleksitas kegiatan
pendidikan dan mereduksi kegiatan orang lain mengenai presepsi mengenai hal
tersebut.
Dalam
Model Evaluasi Konosersif, konoser yang berfungsi sebagai evaluator, menjadi
katalisator untuk evaluasi dan instrumen utama dan mengarahkan pengumpulan,
menganalisis dan mengiterpretasikan data. Walaupun konoser atau evaluator
berperan besar, standar yang di capai untuk penilaian mereka berasal terutama
pada pengalaman mereka sebagai profesional dan pengalaman kolektif profesi.
Untuk
menjadi konoser orang perlu memenuhi kriteria antara lain sebagai berikut:
1) Pengetahuan.
Seorang konoser memerlukan pengetahuan dan keterampilan mengenai benda atau
keadaan yang dinilai. Pengetahuan ini meliputi jenis-jenis, kuantitas dan
kualitasnya dan bagaimana sesuatu itu dibuat, terjadi dan berkembang. Untuk ini
seorang konoser harus mempunyai pendidikan formal mengenai hal tersebut.
Misalnya, untuk menjadi konoser kurikulum, orang harus mempunyai pendidikan
formal di perguruan tinggi mengenai kurikulum
2) Pengalaman.
Seorang konoser memerlukan pengetahuan dan keterampilan mengenai bidang
kerjanya. Ia bukan saja yang menguasai teori, melainkan juga seorang praktisi
yang telah melaksanakan pekerjaannya sehingga ia mempunyai kompetensi tinggi
mengenai tugs dan profesinya.
3) Pengakuan.
Seorang konoser memerlukan pengakuan dari masyarakat atau asosiasi konoser yang
umumnya dalam bentuk sertifikasi.
Penggunaan
konosersif dalam evaluasi pendidikan dilakukan pertama kali oleh Ellio W.
Einser pada tahun 1976, seorang yang mempunyai latar belakang pendidikan
kesenian, ia menggunakan istilah educational
connoseurship and criticism (konosersif dan kritikisme). Ia menyatakan bahwa konosersif merupakan seni
mengapresiasi sedangkan kritikisme merupakan seni penyingkapan.
Prosese
evaluasi konosersif diantaranya;
1) Tim evaluator memilih sempel pakar.
Untuk menilai suatu kebijakan, program atau proyek sering memerlukan sejumlah
keahlian. Misalnya, untuk menilaisuatu program pendidikan diperlukan pakar
pendidikan, pakar psikologi dan pakar sosiologi. Untuk menilai program
pengentasan kemiskinan diperlukan pakar sosiologi, pakar antropologi dan pakar
ekonomi. Evaluator peperlu mengidentifikasi jenis pakar tersebut yang tersedia,
kemudian memilh pakar yang paling berpengalaman untuk setiap jenis kepakaran.
2) Tim evaluator melakukan penelitian.
Tim evaluator menjaring, mentabulasi dan menganalisis data mengenai kebijakan,
program atau proyek.
3) Hasil penelitian diserahkan kepada
pakar. Hasil penelitian diserahkan kepada para pakar dan
meminta pendapat penelitian dari para pakar. Untuk ini para pakar dapat di
kumpulkan di suatu temapat (hotel) atau tetap berada di tempatnya. Jika pakar
tetap berada di tempatnya, dapat digunakan media internet atau teleconference
untuk berkomunikasi.
4) Tim evaluator brupaya mendapatkan
kesepakatan dari para pakar. Seringkali para pakar
mempunyai pendapat dan penilaian yang berbeda mengenai data dan hasil informasi
yang diserahkan kepadanya. Misalnya dari 6 pakar yang menilai terdapat 5
pendapat. Dalam keadaan seperti ini Tim Evaluator berupaya untuk mendapatkan
kesepakatan diantara para pakar tersebut.
5) Hasil evaluasi.
Sering para pakar tidak dapat mencapai kesepakatan akhir pendapat dan penilaian
mengenai hasil dan evaluasi. Dalam keadaan seperti ini Tim evaluator menyusun
hasil evaluasi berdasarkan perbedaan pendapat tersebut.
Model
evaluasi ini mempunyai keunggulan jika dibandingkan dengan model evaluasi
lainnya. Evaluasi dilaksanakan dengan menggunakan proses lebih saintifik jika
dibandingkan dengan model evaluasi lainnya. Tim evaluator melakukan evaluasi
menggunakan desain dan metode saintifik kepada para pakar. Hasilnya dimintakan
pendapat dan penilaian saintifik kepada para pakar. Sering suatu program dalam
merencanakan dan melaksanakannya memerlukan para pakar berbagai bidang ilmu.
Misalnya proyek lahan gambut sejuta hektar, proyek suku anak dalam, program
sekolah satu atap dan program masyarakat mandiri memerlukan para pakar dari
berbagai bidang ilmu untuk merancang, melaksanakan dan mengevaluasinya.
Sedangkan
kelemahannya adalah, yang pertama memerlukan waktu dan biaya lebih banyak dari
model evaluasi lainnya. Kedua, evaluator fungsinya hanya menjaring dan
menganalisis data bukan penentu akhir dari hasil evaluasi. Kelemahan ini dapat
dihindari jika para pakar langsung menjadi anggota Tim Evaluator bukan berada
di luar Tim Evaluator.
l. Model Evaluasi Terfokus Utilisasi
Michael
Quinn Patton (1997; 2002) mengemukakan Model Evaluasi Berfokus Utilisasi.
Utilisai Evaluasi yang artinya pemakaian evaluasi untuk pengambilan keputusan
oleh orang atau lembaga yang dituju oleh evaluasi. Menurut Patton, Utilization-focused evaluation bukanlah
model formal atau resep untuk melaksanakan evaluasi, melainkan suatu
pendekatan, suatu orientasi dan satu set pilihan untuk merancang dan
melaksanakan evaluasi. Evaluator yang aktif, reaktif dan adaptif memilih
diantara pilihan-pilihan ketika bekerja dengan pengambil keputusan dan para
pemakai informasi sepanjang proses evaluasi.
U-FE
dimulai dengan premis bahwa evaluasi harus dinilai berdasarkan utilitasnya dan
pemakaian yang sesungguhnya. Para evaluator harus memfasilitasi proses dan
desain setiap evaluasi dengan pertimbangan yang hati-hati, apa yang dilakukan
dari awal sampai akhir akan memengaruhi pemakaiannya. Pemakaian berkaitan
dengan bagaimana orang akan memakai temuan evaluasi dan pengalaman dalam proses
evaluasi. Oleh karena itu, fokus U-FE adalah pada pemakaian yang dituju oleh para pemakai yang dituju.
U-FE
sangat personal dan situasional tinggi. Fasilitator evaluasi mengembangkan
suatu hubungan dengan para pemakai yang dituju untuk membantu merekam jenis
evaluasi apa yang mereka butuhkan. Hal ini memerlukan negosiasi dimana
evaluator menawarkan suatu menu kemungkinan-kemungkinan di dalam kerangka
standar-standar dan prinsip-prinsip evaluasi yang teruji.
U-FE
tidak membela suatu isi, model, metode, teori, bahkan pemakaian evaluasi
tertentu melainkan proses untuk membantu para pemakai primer yang dituju untuk
situasi khusus mereka. Peresponan situasional memandu proses interaktif antara
evaluator dengan para pemakai evaluasi primer yang dipakai. U-FE dapat termasuk
setiap tujuan evaluasi (formatif, sumatif developmental), setiap jenis data
(kuantitatif, kualitatif, campuran), setiap desain (naturalistik,
eksperimental), dan setiap fokus (proses, pengaruh, akibat, cost benefit, cost
effectiveness). U-FE merupakan suatu proses untuk membuat keputusan-keputusan
mengenai isu-isu tersebut dalam kolaborasi dengan kelompok-kelompok yang
teridentifikasi dari para pemakai dan memfokuskan pada pemakaian-pemakaian
mereka yang teridentifikasi.
Para
pemakai yang dituju lebih mungkin untuk memakai evaluasi jika mereka memahami
dan merasa memiliki evaluasi dan temuannya. Mereka lebih mungkin memahami dan
merasa memiliki jika mereka telah aktif ikut serta dalam evaluasi. Dengan
aktifnya mereka, evaluator melatih para pemakai dalam memakai, mempersiapkan
landasan pemakaian, dan menguatkan utilitas yang dituju dari evaluasi setiap
langkah sepanjang evaluasi.
m. Akteditasi
Akreditasi
adalah evaluasi proses menilai lembaga yang menyajikan jasa apakah sesuai
dengan standar yang telah ditentukan. Contoh dari lembaga penyaji jasa tersebut
antara lain sekolah, perguruan tinggi, hotel, rumah sakit, pusat kesehatan
masyarakat, travel biro, perbankan dan perusahaan angkutan. Tujuan daripada
akreditasi ini adalah untu melindungi pemakai jasa yang dibutuhkan dengan baik.
Untuk itu lembaga penyaji jasa harus memenuhi standar tertentu; standar
fasilitas layanan; standar tenaga yang melayani jasa; standar proses layanan;
dan standar kualitas dan kuantitas layanan. Dengan memenuhi kriteria-kriteria
standar-standar tersebut tidak akan terjadi malfungsi daam melayani klien.
Di
Indionesia, Kementrian Pendidikan dalam Undang-Undang Nomer 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan menyususn 8 Standar Nasional Pendidikan
yang terdiri dari:
1) Standar
kompetensi lulusan
2) Standar
isi
3) Standar
proses
4) Standar
pendidik dan tenaga kependidikan
5) Standar
sarana dan prasarana
6) Standar
pengelolaan
7) Standar
pembiayaan pendidikan
8) Standar
penilaian pendidikan
Akreditasi
lembaga pendidikan dilakukan dengan menilai lembaga pendidikan dengan kedelapan
standar tersebut. Proses akreditasi secara umum antaralain:
1) Lembaga penyaji jasa melakukakan
evaluasi/studi diri. Studi dilakukan oleh suatu tim untuk
mengumpulkan data mengenai semua aspek yang dipersyaratkan oleh standar
akreditasi untuk melayani jasa kepada klien. Misalnya, tenaga profesional,
peralatan, bahan-bahan, proses layanan, ruangan, aktu layanan, dan standar
layanan. Studi diri harus dilakukan secara jujur tidak mengada-ngada.
2) Hasil evaluasi diri diserahkan pada
tim asesor. Tim asesor beranggotakan para pakar bidang
tertentu yang memahami semua aspek layanan yang disajikan oleh lembaga penyaji
layanan yang akan diakreditasi. Mereka mewakili lembaga akreditasi untuk
mengevaluasi hasil studi diri lembaga penyaji layanan jasa.
3) Tim asesor meneliti evaluasi diri.
Tim asesor datang ke lembaga penyaji jasa dan mengumpulkan informasi mengenai
semua aspek layanan jasa. Meneliti kebenaran evaluasi diri dengan
membandingkannya dengan data/informasi tersebut. Temuan dinilai berdasarkan
berdasarkan Standar Akreditasi.
4) Temuan dan penilaian asesor
diserahkan kepada lembaga akreditasi. Tim asesor merupakan
alat dari lembaga akreditasi untuk meneliti pemenuhan Standar Layanan. Lembaga akreditasi dapat merupakan lembaga
yang dibentuk oleh pemerintah – di Indonesia Badan Akreditasi Nasional – dapat
pula merupakan asosiasi profesi.
5) Keputusan Lembaga Akreditasi.
Asesor mempresentasikan hasil penilaiannya dimuka sidang Lembaga Akreditasi.
Lembaga ini kemudian mengambil keputusan, antara lain;
a) Terakreditasi penuh.
Lembaga penyaji jasa mendapatkan nilai akreditasi tinggi.
b) Terakreditasi bersyarat.
Lembaga penyaji jasa dalam waktu enam bulan harus berupaya memenuhi standar
layanan. Jika dalam waktu tersebut tidak dapat memenuhinya, maka lembaga
tersebut menjadi tidak terakreditasi.
c) Tidak teradekritasi.
Lembaga penyaji jasa tidak memenuhi standar akreditasi dan predikatnya buruk.
Di
Indonesia Indonesia akreditasi Lembaga Pendidikan Tinggi dilakukan oleh Badan
Akreditasi Nasional. Jika di Amerika Serikat asesor memerlukan waktu sampai sepuluh
hari untuk mengevaluasi program studi yang diakreditasi, di Indonesia hanya
dilakukan 1-2 hari. Keputusan mengenai akreditasi adalah: Terakreditasi dengan
nilai A; Terakreditasi dengan nilai B; Terakreditasi dengan nilai C; dan Tidak
Terakreditasi. Dapat dikatakan di Indonesia belum pernah ada program studi yang
tidak terakreditasi.
n. Theory-driven Evaluation Model
Seperti
telah dibahas di atas, konsep theory-driven
evaluation- evaluasi berbasis teori. Teori ini disususn berdasarkan asumsi
bahwa intervensi program harus diekspresikan berdasarkan hubungan kausal atau
teori program. Huey-Tsych Chen dan Peter Rossi (1980) menyatakan bahwa
program-program mempunyai sejumlah pengaruh yang tidak perlu sama dengan maksud
pendesain atau administrator program, akan tetapi berbeda dengan pendekatan
tersebut dan menyarankan cara di mana pengaruh seperti itu mungkin diketahuai.
Aplikasinya
dalam proses evaluasi terdiri dari:
1) Mempelajari program.
Evaluator mempelajari program secara rinci dan bertemu dengan pimpinan, staf
program dan para pemangku kepentingan yang mendapatkan layanan program dan
mereka yang memengaruhi dan dipengaruhi oleh program. Dari sini teridentifikasi
tujuan program, sumber-sumber, intervensi program, para pemangku kepentingan
program, aktivitas program, fokus dan cakupan evaluasi.
2) Menyusun teori program.
Yaitu menyusun logika program, perubahan yang ingin dicapai oleh program,
layanan atau intervensi program, standar-standar tolok ukur untuk mengukur
akibat dan pengaruh program dan standar evaluasi yang akan dipergunakan. Setiap
program bersifat unik karenanya teori suatu program berbeda dengan program
lainnya.
3) Menyusun desain evaluasi.
Desain evaluasi terdiri dari teori program dan meteode penelitian. Teori
program menentukan bagaimana proses evaluasi akan dilaksanankan. Metode
penelitian menentuka jenis informasi yang akan dijaring; sumber informasi yang
diperlukan; memilih metode penelitian: kualitatif, kuantitatif atau campuran,
dan instrumen untuk menjaring data. Semua informasi dituangkan dalam proposal
evaluasi.
4) Pelaksanaan evaluasi.
Menjaring data, tabulasi dan analisis data, menyusun laporan hasil evaluasi
termasuk jika dilakukan evaluasi formatif dan sumatif.
5) Hasil evaluasi.
Menyusun hasil evaluasi yang dapat berupa hasil evaluasi formatif dan hasil
evaluasi sumatif. Hasil ini dibahas dengan pimpinan dan staf program untuk
mengecek mengenai kemungkinan adanya data/informasi yang bertentangan. Kemudian
dilakukan evaluasi meta untuk menentukan apakah nilai dan manfaat hasil evaluasi
tinggi atau rendah. Hasil evaluasi meta menentukan apakah dapat dipergunakan
untuk pengambilan keputusan atau tidak.
6) Pemanfaatan hasil evaluasi.
Membantu pimpinan dan staf program dalam memanfaatkan hasil evaluasi untuk
mengambil keputusan mengenai program.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa model evaluasi adalah model desain
yang dibuat oleh ahli-ahli atau pakar-pakar evaluasi yang biasanya dinamakan
sama dengan atau tahap pembuatannya.
Adapun
jenis model-model evaluasi yaitu, model evaluasi berbasis tujuan, model
evaluasi berbasis bebas tujuan, model evaluasi formatif dan sumatif, model
evaluasi responsive, model evaluasi context, input, process, product (CIPP),
model evaluasi adversary, model evauasi ketimpangan, model evaluasi sistem
analisis, model evaluasi benchmarking (bangku ukur), model evaluasi kotak
hitam, model evaluasi konosersip dan kritikisme, model evaluasi terfokus
utilisasi, akreditasi, theory-driven evaluation model, dan model evaluasi semu.
B. Saran
Sebagai
seorang evaluator yang profesional hendaknya kita memiliki pengetahuan dan
wawasan yang luas tentang apa yang dimaksud dengan evaluasi dan apa saja jenis
dari model-model evaluasi. Sehingga kita dapat melaksanakan evaluasi dengan baik.
evaluasi pembelajaran
PRINSIP EVALUASI
Prinsip-prinsip Evaluasi Evaluasi merupakan kegiatan untuk menilai sesuatu keadaan, gejala, atau kegiatan-kegiatan tertentu dengan ...